Oleh: Holib Rahman
Sumenep, Portaljatim.net – Pencabutan identitas pers CNN Indonesia oleh pihak Istana Negara tidak dapat dipandang sekadar sebagai urusan teknis administrasi. Peristiwa ini mencerminkan krisis yang mengancam kebebasan pers—pilar fundamental dalam kehidupan demokratis.
Pers sebagai Pilar Demokrasi
Dalam teori demokrasi modern, pers berfungsi sebagai pilar keempat yang mengawasi jalannya kekuasaan. Ia bertugas menjadi jembatan antara negara dan warga, menyampaikan informasi, sekaligus menguji kebenaran klaim pejabat publik. Kritik, pertanyaan sulit, dan penyelidikan kritis adalah konsekuensi logis dari sistem yang terbuka.
Pertanyaan wartawan CNN mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan bentuk kerja profesional yang wajar dalam praktik jurnalisme. Namun, pencabutan ID pers akibat pertanyaan tersebut menimbulkan kesan adanya “ruang terlarang” dalam diskursus publik—sesuatu yang bertentangan dengan prinsip keterbukaan.
Dimensi Simbolik dan Dampak Psikologis
Istana adalah representasi kekuasaan negara. Ketika ruang itu menutup akses pertanyaan kritis, pesan simbolik yang terbaca justru pengingkaran terhadap akuntabilitas. Lebih jauh, tindakan ini berpotensi menimbulkan efek psikologis: jurnalis menjadi enggan mengajukan pertanyaan substantif, media memilih jalan aman dengan melakukan self-censorship, dan publik akhirnya kehilangan informasi yang otentik. Pada titik ini, demokrasi kehilangan roh partisipatifnya.
Perspektif Hukum dan Etika
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dengan jelas menegaskan kebebasan pers sebagai hak yang dijamin negara. Tindakan yang menghalangi kerja jurnalistik berpotensi masuk kategori pelanggaran hukum. Dari perspektif etika, pemerintah seharusnya memandang pertanyaan kritis sebagai sarana klarifikasi, bukan ancaman.
Kritik yang disampaikan wartawan pada hakikatnya membantu negara menjelaskan kebijakan kepada rakyat. Menutup ruang tersebut sama dengan menutup dialog publik yang seharusnya dijaga dalam demokrasi.
Urgensi Pemulihan dan Refleksi
Kasus CNN Indonesia harus menjadi momentum reflektif. Pemerintah perlu memulihkan akses liputan wartawan yang dicabut, memberikan klarifikasi terbuka, serta menyusun pedoman liputan yang transparan dan nondiskriminatif. Di sisi lain, pers dituntut untuk tetap menjaga profesionalisme, independensi, dan keberanian kritisnya.
Kebebasan pers adalah nafas demokrasi. Jika akses informasi dibatasi, rakyat kehilangan hak untuk tahu, dan demokrasi kehilangan substansinya. Karena itu, membela kebebasan pers bukan sekadar membela profesi jurnalis, tetapi juga membela hak rakyat dan masa depan demokrasi bangsa.
Penulis: LS