Dunia kerja tengah mengalami perubahan besar-besaran. Digitalisasi, pandemi, dan munculnya teknologi baru telah mengguncang cara kita memandang pekerjaan. Kini, kantor bukan lagi satu-satunya ruang untuk bekerja.
Banyak anak muda memilih bekerja secara fleksibel melalui platform digital. Bisa dari rumah, kafe, hingga di perjalanan. Generasi yang menjadi simbol perubahan ini adalah Generasi Z (Gen Z), generasi yang tumbuh bersama internet dan menganggap teknologi bukan sekadar alat, melainkan bagian dari kehidupan.
Bagi mereka, pekerjaan bukan lagi soal di mana kita bekerja, tapi bagaimana kita bisa berkarya dan produktif. Menurut Dimock (2019) Generasi Z adalah kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh di era digital dan media sosial. Mereka dikenal sebagai generasi yang kreatif, adaptif, serta mendambakan kebebasan dalam bekerja. Alih-alih mengejar status “pegawai tetap”, banyak dari mereka lebih memilih pekerjaan yang sesuai minat dan memberi ruang eksplorasi diri.
Sementara itu, istilah gig economy pertama kali dipopulerkan oleh Tina Brown (2009) untuk menggambarkan pola kerja baru di mana profesional muda lebih memilih proyek-proyek jangka pendek (gigs) dibanding pekerjaan tetap.
Dalam konteks akademik, De Stefano (2016) mendefinisikannya gig economy sebagai “model ekonomi berbasis platform digital yang menghubungkan pemberi kerja dan pekerja lepas untuk menyelesaikan tugas atau proyek sementara.” Sistem ini berkembang pesat di era digital berkat kemudahan teknologi dan internet berkecepatan tinggi.
Dalam gig economy, hubungan kerja tidak lagi terikat oleh jam kantor dan kontrak jangka panjang. Seseorang bisa menjadi desainer grafis, content creator, analis data, driver online dan lainya dengan jadwal yang mereka tentukan sendiri dengan catatan sesuai kesepakatan dan aturan dari pemberi kerja.
Pola kerja ini terasa alami bagi Gen Z yang terbiasa hidup serba cepat, multitasking, dan tidak takut berpindah bidang. Karakter digital mereka menyatu dengan kebutuhan dunia kerja yang makin fleksibel.
Upwork Research Institute melakukan survei terhadap 3.000 pekerja pengetahuan terampil (skilled, knowledge workers) berbasis di Amerika Serikat pada periode Desember 2024 hingga Februari 2025. Margin of error dari survei ini adalah 1,8% pada tingkat kepercayaan 95%.
Salah satu hasilnya menyatakan bahwa Jumlah pekerja berbasis pengetahuan yang bekerja sebagai freelancer saat ini sangat besar dan diperkirakan akan terus bertambah. Sebanyak 36% karyawan penuh waktu yang memiliki keahlian profesional mempertimbangkan untuk menjadi freelancer demi memperoleh peluang karier yang lebih baik, sementara hanya 10% dari para freelancer terampil yang mempertimbangkan kembali bekerja secara penuh waktu.
Pada tahun 2030 diperkirakan Gen Z akan membentuk 30% angkatan kerja di Amerika Serikat, sebagian besar memilih bekerja sebagai freelancer.
Temuan itu semakin memperkuat hasil survei Upwork Research Institute yang telah dilakukan pada tahun 2024 terhadap 1.070 Gen Z dan hasilnya sebanyak 53% dari Gen Z sudah bekerja sebagai freelancer. Data ini juga dikuatkan dengan hasil survei dari Indonesia Millennial and Gen Z Report 2026 oleh IDN Research Institute.
Mayoritas responden atau sebanyak 84% Gen Z dan milenial menyetujui bahwa fenomena freelance menjadi strategi utama bagi mayoritas generasi muda untuk dapat menuangkan kreativitas, meningkatkan pendapatan, serta mencoba jalur karier baru.
Melalui survei ini, IDN menggali aspirasi dan DNA Milenial dan Gen Z, apa nilai-nilai yang mendasari tindakan mereka. Survei dilakukan pada Februari sampai April 2025 dengan studi metode campuran yang melibatkan 1.500 responden, dibagi rata antara Milenial dan Gen Z.
Survei ini menjangkau responden di 12 kota besar di Indonesia, antara lain Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar.
Namun, revolusi cara kerja ini bukan tanpa sisi gelap.
Di satu sisi, gig economy memberi kebebasan luar biasa. Waktu kerja yang bisa diatur sendiri, peluang berkreasi di berbagai proyek, dan kesempatan membangun personal branding sejak muda.
Banyak Gen Z yang justru menemukan semangat kewirausahaan melalui pekerjaan gig, bahkan menjadikannya batu loncatan untuk bisnis mandiri. Di sisi lain, tantangan juga tidak kecil. Pendapatan yang tidak tetap, ketiadaan jaminan sosial, serta batas waktu kerja yang kabur bisa membuat keseimbangan hidup terganggu.
Beberapa pekerja gig mengalami kelelahan digital (burnout) karena tekanan kerja tanpa batas dan persaingan yang tinggi di dunia daring.
Tanpa manajemen diri dan perencanaan keuangan yang baik, fleksibilitas bisa berubah menjadi ketidakpastian. Revolusi ini memang memberi ruang bagi kebebasan, tetapi juga menuntut tanggung jawab dan ketahanan diri yang lebih besar.
Perubahan pola kerja ini membawa pesan penting bagi dunia pendidikan dan kebijakan publik. Kampus harus mulai mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi pelaku ekonomi digital yang cerdas, etis, dan tangguh. Literasi digital, manajemen waktu, komunikasi daring, hingga etika kerja di ruang virtual perlu diajarkan sebagai bekal untuk berkompetisi di abad ke-21.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyesuaikan regulasi ketenagakerjaan agar para pekerja gig mendapat perlindungan hukum dan sosial yang layak, tanpa menghambat fleksibilitas yang menjadi ciri khas model kerja ini.
Gig economy pada dasarnya bukan ancaman, melainkan cerminan dari cara hidup baru di era digital. Gen Z berada di garis depan revolusi ini dan menjadi pionir perubahan cara kerja yang lebih mandiri dan berbasis teknologi.
Kuncinya terletak pada keseimbangan, bagaimana mereka memanfaatkan kebebasan tanpa kehilangan arah, dan bagaimana sistem pendidikan serta kebijakan bisa menyiapkan landasan yang kokoh bagi mereka. Revolusi kerja digital ini bukan tentang meninggalkan masa lalu, melainkan tentang menciptakan masa depan yang lebih manusiawi, di mana kerja tidak sekadar mencari nafkah, tetapi menjadi ruang untuk berkarya, berkreasi, dan berkontribusi. (GP)
Sumber: Juni Tristanto Laksana Putra, S.AB., M.AB. (Dosen Administrasi Bisnis,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Mulawarman)












