Berita

Citra Pesantren Tercoreng, Belasan Santri Diduga Jadi Korban Kekerasan Seksual di Sumenep

46
×

Citra Pesantren Tercoreng, Belasan Santri Diduga Jadi Korban Kekerasan Seksual di Sumenep

Sebarkan artikel ini
IMG 20250609 WA0015

SUMENEP, Portaljatim.net – Pesantren yang seharusnya menjadi ruang suci tempat adab, spiritualitas, dan ketenangan jiwa ditanamkan, kini kembali tercoreng. Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum pengasuh mencuat di Pulau Kangean, Sumenep. Lebih dari 15 anak diduga menjadi korban seorang ustaz berinisial SN, yang ironisnya diamanahkan untuk mendidik, bukan melukai.

Kasus ini menjadi sorotan tajam bagi Safiudin, Pemerhati Pendidikan dan Advokasi Perlindungan Anak & Perempuan Sumenep. Menurutnya, insiden ini bukan satu-satunya. Budaya diam, relasi kuasa yang timpang, serta minimnya edukasi seksual di lingkungan pesantren menjadikan lembaga pendidikan ini rentan terhadap kekerasan.

“Ketika otoritas keagamaan tidak bisa dikritik, keberanian untuk bersuara lenyap. Seperti kata Foucault, pengetahuan dan kuasa kerap menciptakan dominasi yang senyap—terlebih di ruang yang dibalut simbol agama,” ujar H Safiudin.

Seringkali, simbol agama dijadikan tameng untuk membungkam korban. Mereka terpaksa diam karena stigma dan tekanan sosial, sementara pelaku berlindung di balik sorban dan ayat-ayat suci. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh Prof. Musdah Mulia, tidak ada ajaran agama yang membenarkan kekerasan, apalagi terhadap anak-anak.

Baca Juga :  UPT Cabdin Wilayah Jember Diduga Tidak Serius Tangani Pungli Berkedok Titip Beli Seragam SMANJA

Kekerasan terus berulang karena banyak pihak lebih sibuk menjaga citra lembaga daripada menyelamatkan korban. Sudah saatnya untuk bersuara, bukan untuk mencoreng nama baik pesantren, melainkan untuk membersihkannya dari tindakan keji yang jelas-jelas mengkhianati nilai-nilai ilahiah.

Safiudin menggarisbawahi beberapa langkah konkret yang harus segera diimplementasikan untuk mencegah terulangnya kasus serupa dan memulihkan kepercayaan publik:

Reformasi Tata Kelola: Perlu adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) perlindungan anak yang jelas, audit etika secara berkala, dan penyediaan akses mudah ke psikolog bagi santri.

Edukasi Seksual Islami: Memberikan edukasi seksual yang kontekstual dan berbasis nilai agama, agar anak-anak mampu mengenali dan melawan bentuk-bentuk kekerasan.

Baca Juga :  Polrestabes Surabaya Berhasil Ungkap Peredaran Narkoba, 1 orang Kurir Online Diamankan

Implementasi Regulasi: Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 Tahun 2022 harus dijalankan secara konkret dan tegas.

Satgas Perlindungan Anak: Pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Anak yang melibatkan lintas elemen, mulai dari tokoh agama hingga masyarakat sipil, sangat diperlukan.

“Kita tidak boleh membiarkan ruang adab berubah jadi ladang luka. Santri adalah amanah bangsa—mereka berhak atas lingkungan yang aman dan memerdekakan,” tegas H Safiudin.

“Pendidikan sejati adalah yang membebaskan, bukan yang membelenggu,” tambahnya.

Kini saatnya perubahan struktural. Agar pesantren dapat kembali menjadi ruang yang menumbuhkan, bukan yang menakutkan, dan mengembalikan citranya sebagai benteng moral dan pendidikan yang sejati. (Liamsan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *