SUMENEP, Portaljatim.net – Fenomena rumah tidak layak huni masih banyak dijumpai di berbagai wilayah pedesaan di Indonesia, termasuk di Desa Pagerungan Besar, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep. Kondisi hunian yang nyaris roboh tidak hanya menimbulkan risiko keselamatan bagi penghuni, tetapi juga mencerminkan kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar seharusnya dapat diakses secara layak oleh seluruh warga negara, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan prinsip keadilan sosial. (Rabu, 27 Agustus 2025).
Dalam perspektif kebijakan publik, masyarakat yang mengalami keterbatasan sarana tempat tinggal memiliki hak fundamental untuk memperoleh perlindungan serta intervensi dari lembaga-lembaga berwenang. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab negara dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Secara normatif, terdapat sejumlah aktor yang memiliki peran strategis dalam mengatasi persoalan rumah tidak layak huni, antara lain:
1. Pemerintah Desa/Kelurahan, sebagai institusi pemerintahan terdekat dengan masyarakat, berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penghubung aspirasi warga ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.
2. Pemerintah Daerah (Bupati/Walikota), dengan otoritas dalam merumuskan kebijakan pembangunan daerah, termasuk program peningkatan kualitas hunian yang responsif terhadap masyarakat berpenghasilan rendah.
3. Dinas Sosial, yang berwenang menyalurkan bantuan sosial maupun program rehabilitasi sosial, termasuk intervensi khusus dalam kasus rumah tidak layak huni.
4. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang dapat memberikan dukungan finansial berbasis sosial melalui pengelolaan dana zakat, infak, sedekah, serta skema pembiayaan inklusif.
5. Perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), yang memiliki potensi untuk mendukung pembangunan sosial di daerah, termasuk program renovasi rumah warga miskin. CSR dapat menjadi instrumen penting bagi perusahaan, terutama yang beroperasi di wilayah sekitar, untuk memperkuat kontribusi sosial sekaligus membangun hubungan harmonis dengan masyarakat.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, Johari, selaku perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), menyampaikan keprihatinannya terhadap minimnya perhatian dari pemerintah. Ia menilai bahwa ketiadaan respons nyata dari pihak berwenang mencerminkan lemahnya sistem penanganan persoalan sosial di tingkat lokal. Menurutnya, warga tidak semestinya menunggu hingga permasalahan ini menjadi sorotan publik untuk kemudian mendapatkan bantuan. Pandangan tersebut menegaskan adanya tuntutan masyarakat sipil agar negara hadir secara proaktif dalam menangani permasalahan sosial yang mendesak.
Melalui sinergi lintas lembaga pemerintah, masyarakat sipil, lembaga filantropi, serta dunia usaha melalui CSR permasalahan rumah tidak layak huni di Desa Pagerungan Besar diharapkan dapat ditangani secara komprehensif. Pendekatan kolaboratif yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat juga dapat menjadi strategi jangka panjang untuk mencegah terulangnya persoalan serupa di masa mendatang. Upaya ini merupakan implementasi nyata dari prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam konstitusi, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas hunian yang layak, aman, dan bermartabat. (Liamsan)