Artikel

Algoritma Media Sosial VS Algoritma Semesta: Antara Rekayasa Keinginan dan Petunjuk Ilahiah

30
×

Algoritma Media Sosial VS Algoritma Semesta: Antara Rekayasa Keinginan dan Petunjuk Ilahiah

Sebarkan artikel ini
IMG 20250613 WA0012

Oleh: Wildan Krisnarwanto W. S., S.I.Kom., M.I.Kom.

Portaljatim.net – Di era digital ini, istilah “algoritma” tidak lagi asing bagi kita. Setiap detik, algoritma media sosial bekerja tanpa henti untuk mengatur informasi yang muncul di layar ponsel kita. Namun di balik kekuatan algoritmik yang dibuat manusia, sesungguhnya terdapat algoritma lain yang lebih agung: algoritma semesta. Jika algoritma media sosial adalah hasil dari kalkulasi matematis dan kecerdasan buatan, maka algoritma semesta adalah ekspresi dari kehendak Ilahi yang tak pernah salah arah.

Sebagai akademisi yang menaruh perhatian pada relasi antara teknologi dan nilai dari sisi Agama Islam utamanya, saya mengajak mahasiswa dan anak muda untuk melihat lebih dalam: bagaimana algoritma media sosial dapat membentuk perilaku, dan bagaimana kita bisa menyeimbangkannya dengan kesadaran spiritual akan algoritma semesta.

Algoritma Media Sosial: Pola yang Mengendalikan

Algoritma media sosial seperti Instagram, TikTok, atau YouTube menggunakan prinsip filter bubble dan echo chamber—istilah yang dijelaskan oleh Eli Pariser (2011) dalam bukunya The Filter Bubble. Algoritma ini mempersonalisasi konten berdasarkan klik, like, dan durasi tontonan pengguna. Akibatnya, pengguna cenderung terperangkap dalam lingkup informasi yang sempit dan homogen. Hal ini berbahaya, karena bisa mengerdilkan perspektif dan membentuk keinginan secara manipulatif, hingga pada akhirnya cenderung terkurung pada Ruang Gema atau Echo Chamber Effect. Inilah yang menjadikan pengguna media sosial sering dikelilingi oleh pandangan yang seragam karena algoritma memprioritaskan konten dari jaringan atau komunitas yang berpikiran sama. Akibatnya, pengguna makin sulit menerima informasi dari sudut pandang lain, keterasingan dari realitas sosial semakin meluas, serta penguatan bias.

Dalam kajian komunikasi massa, efek seperti ini masuk dalam teori agenda setting (McCombs & Shaw, 1972), yang menyatakan bahwa media tidak memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi apa yang harus dipikirkan tentang. Sekarang, yang menetapkan agenda bukan lagi redaktur, tapi algoritma. Inilah perubahan besar dalam cara manusia mengakses dan memaknai realitas.

Baca Juga :  Istilah Lebaran Ketupat Yang Sudah Melegenda Dipulau Jawa, Ternyata Begini Penjelasan Riwayatnya 

Algoritma Semesta: Petunjuk dalam Keseimbangan

Berbeda dari algoritma media sosial yang digerakkan oleh kapitalisme atensi, algoritma semesta adalah sistem keteraturan yang dibangun atas dasar kehendak Allah SWT. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

(QS. Al-Qamar: 49)

Ayat ini menegaskan bahwa semesta bekerja dengan presisi yang tak tertandingi. Segalanya memiliki ritme dan waktunya sendiri. Kejadian dalam hidup kita—baik suka maupun duka—adalah bagian dari algoritma semesta yang mengatur kehidupan agar tetap dalam keseimbangan. Ini adalah tafsir spiritual dari takdir dan hikmah, sesuatu yang sering dilupakan ketika kita terlalu tenggelam dalam dunia digital.

Syekh Nawawi al-Bantani, ulama besar dari Banten, dalam kitab Nashaih al-‘Ibad, menulis bahwa manusia yang terlalu sibuk mengejar dunia akan lupa bahwa segala sesuatu telah ditakar dan diatur oleh Allah. Beliau mengingatkan agar manusia tidak terjebak dalam ilusi kendali dan menumbuhkan sikap ridha terhadap qadarullah.

Walisongo, dalam dakwahnya, sering menekankan pentingnya menyelaraskan hidup dengan hukum semesta dan nilai-nilai keislaman. Sunan Kalijaga, misalnya, mengajarkan melalui simbol dan budaya bahwa manusia harus “eling lan waspada” (ingat dan waspada) agar tidak terjebak dalam hawa nafsu atau “algoritma dunia”.

Benturan Dua Algoritma

Apa yang terjadi ketika algoritma media sosial bertabrakan dengan algoritma semesta? Kita melihat gejala seperti:

Kecemasan sosial (social anxiety) yang meningkat akibat standar kebahagiaan palsu di media.

Krisis identitas, karena terlalu banyak membandingkan diri dengan kehidupan orang lain.

Kehilangan makna, karena segala sesuatu diukur dengan jumlah views dan likes.

Padahal, jika kita kembali pada maqashid syariah—tujuan dari syariat Islam—salah satu tujuannya adalah menjaga akal dan jiwa (hifdz al-‘aql dan hifdz al-nafs). Ironisnya, algoritma media sosial telah menciptakan candu bagi penggunanya, justru seringkali menggerogoti keduanya. Ia membuat kita lelah secara mental dan bingung secara nilai.

Baca Juga :  Pentingkah Melakukan Makan Sahur di Malam Ramadhan, Begini Penjelasan Para Ulama'

Kembali ke Kesadaran Spiritual Digital

Sudah saatnya mahasiswa dan generasi muda menumbuhkan kesadaran digital-spiritual: sebuah kemampuan untuk tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga pengendali. Kita bisa mulai dengan:

Membatasi konsumsi digital secara sadar — puasa media sosial, misalnya.

Mengamalkan nilai-nilai Islam dalam bermedia — tidak menyebar hoaks, menjaga adab, dan menyebarkan kebaikan.

Mengintegrasikan dzikir dalam aktivitas digital — mengingat Allah saat membuka media, agar tidak terjebak arus algoritma dunia.

Menggunakan teknologi untuk kebaikan — memproduksi konten edukatif, dakwah yang santun, dan narasi yang membangun.

Dalam konteks teori komunikasi, pendekatan ini selaras dengan uses and gratifications theory yang menekankan bahwa pengguna media tidak pasif, melainkan aktif memilih media untuk kebutuhan tertentu. Maka, jika kita memiliki kesadaran nilai, kita akan memilih media bukan hanya untuk hiburan, tapi juga untuk pertumbuhan diri dan spiritualitas.

Menemukan Keseimbangan

Kita tidak sedang dalam perang antara teknologi dan agama. Yang perlu kita lakukan adalah menemukan keseimbangan antara keduanya. Media sosial bisa menjadi alat dakwah dan pengembangan diri, asalkan tidak melepaskan kita dari algoritma semesta.

Sebagaimana diajarkan oleh para Walisongo, tugas kita bukan hanya mengikuti zaman, tapi juga menyinari zaman. Dan sinar itu datang dari hati yang terhubung pada Tuhan, bukan semata-mata hanya pada server digital saja.

Maka, para generasi muda, mari bersama-sama belajar dalam mengendalikan, kendalikan jarimu sebelum jiwamu dikendalikan. Pahami algoritma media sosial, tapi jangan lupakan algoritma semesta. Karena di balik layar, ada yang lebih agung dari sekadar tren—yakni takdir dan petunjuk dari-Nya sang Maha Pencitpa.

Penulis adalah Division External Relation – Departemen Marketing dan Komunikasi Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *