Oleh: Supriyadi
Sumenep, Portaljatim.net – Wacana penolakan terhadap kegiatan seismik di Kepulauan Kangean beberapa waktu terakhir memunculkan diskusi yang cukup hangat. Sebagian kelompok masyarakat mengekspresikan kekhawatiran terkait dampak lingkungan, terutama terhadap sektor perikanan dan pertanian. Kekhawatiran tersebut berangkat dari asumsi bahwa aktivitas seismik berpotensi mengganggu ekosistem laut maupun daratan.
Namun, di sisi lain, kajian ilmiah dan regulasi yang mengatur eksplorasi migas menunjukkan bahwa kegiatan seismik berada dalam kerangka pengawasan ketat. Pemerintah maupun lembaga terkait telah menetapkan standar operasional untuk meminimalkan risiko terhadap lingkungan. Dengan demikian, klaim yang menyebut bahwa seismik secara otomatis akan merusak sumber daya alam perlu ditinjau ulang dengan perspektif berbasis data.
Penolakan yang muncul juga tidak lepas dari dinamika sosial-politik di daerah. Narasi yang dibangun kerap mengatasnamakan masyarakat atau nelayan sebagai pihak yang paling terdampak, meskipun tidak semua suara dari lapisan masyarakat terwakili dalam gerakan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk menghadirkan forum komunikasi yang lebih terbuka dan berbasis informasi yang valid.
Dari perspektif pembangunan, penundaan atau penolakan investasi migas tentu memiliki konsekuensi. Lapangan kerja, infrastruktur, serta potensi peningkatan ekonomi daerah dapat tertunda apabila proses eksplorasi tidak berjalan. Namun, di sisi lain, aspirasi masyarakat terkait lingkungan dan keberlanjutan juga tidak boleh diabaikan.
Oleh karena itu, dialog konstruktif menjadi jalan tengah yang penting. Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan yang komprehensif, sementara pemerintah dan pelaksana kegiatan migas harus memastikan transparansi serta kepatuhan terhadap regulasi lingkungan. Dengan pendekatan demikian, keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan dapat lebih realistis untuk dicapai. (LS)