SUMENEP, PORTALJATIM.NET – Pembangunan infrastruktur irigasi di Desa Kolokolo, Dusun Jembu, Kabupaten Sumenep, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp195 juta melalui Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI), menimbulkan persoalan serius dalam tata kelola pembangunan daerah. Proyek yang seharusnya menjadi instrumen strategis untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan memperkuat kesejahteraan petani, justru memunculkan indikasi kegagalan dalam pemenuhan standar teknis dan akuntabilitas publik. Kamis (18/09/2025).
Fenomena tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan antara besaran alokasi dana dan kualitas fisik bangunan. Hal ini menandai lemahnya siklus tata kelola pembangunan mulai dari tahap perencanaan, implementasi, hingga mekanisme pengawasan.
Tidak adanya papan informasi proyek kian mempertegas defisit transparansi, sehingga masyarakat kehilangan akses terhadap data yang seharusnya terbuka sesuai mandat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Dalam kerangka good governance, kondisi ini menyingkap problem integritas birokrasi lokal. Alih-alih mengedepankan prinsip transparansi, efektivitas, efisiensi, dan partisipasi publik, praktik pengelolaan proyek irigasi Kolokolo justru menunjukkan kecenderungan seremonial yang minim manfaat substantif.
Jika pola ini dibiarkan, ia berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara sekaligus memperlebar kesenjangan antara agenda pembangunan pemerintah dan kebutuhan riil masyarakat desa.
P3-TGAI pada dasarnya dirancang sebagai program padat karya berbasis swakelola, dengan partisipasi aktif Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Gabungan P3A (GP3A), maupun Induk P3A (IP3A). Namun, implementasi di lapangan menunjukkan bahwa prinsip partisipasi dan akuntabilitas yang melekat dalam desain program tersebut gagal dioperasionalisasi secara memadai.
Dengan demikian, kasus irigasi Desa Kolokolo merefleksikan urgensi reformasi tata kelola pembangunan daerah. Penguatan sistem pengawasan, optimalisasi akuntabilitas birokrasi, serta peningkatan partisipasi publik harus ditempatkan sebagai prasyarat mutlak.
Tanpa itu, anggaran pembangunan daerah berisiko terus terjebak dalam proyek-proyek yang lebih menonjolkan formalitas administratif ketimbang manfaat substantif bagi masyarakat.
Penulis: LS