Oleh: H. Safiudin
Sumenep, Portaljatim.net – Dalam ruang publik Indonesia kontemporer, fenomena yang kerap muncul adalah menjamurnya figur yang disebut “pakar seribu wajah”. Istilah ini merujuk pada individu yang dengan cepat mengklaim diri sebagai ahli dalam beragam bidang, mengikuti arus isu yang sedang menjadi sorotan media maupun masyarakat. Ahad(19/10/2025)
Gejala ini dapat dipahami sebagai bentuk inflasi otoritas epistemik, yakni kondisi ketika klaim keahlian tidak lagi bersandar pada riset mendalam, pengalaman empiris, atau kompetensi akademik, melainkan pada keberanian tampil dan kemampuan retoris. Seorang tokoh yang hari ini mendaku diri sebagai pakar migas, esok bisa tampil sebagai ahli perikanan, lusa menjelma konsultan pendidikan, dan dalam kesempatan lain menyatakan diri sebagai pengamat hukum dan HAM. Fenomena serupa mengindikasikan adanya problem serius dalam sistem komunikasi publik.
Padahal, menurut tradisi akademik, otoritas seorang pakar ditentukan oleh kapasitas epistemologis: sejauh mana argumen yang dibangun didasarkan pada metodologi yang sahih, data yang valid, serta keterlibatan langsung dengan realitas lapangan. Namun dalam praktiknya, yang lebih dihargai justru volume suara, bukan validitas isi. Konsekuensinya, wacana publik sering kali dipenuhi analisis instan yang rapuh secara akademis.
Fenomena “pakar instan” ini juga memperlihatkan adanya ketegangan antara kebutuhan informasi cepat dengan tuntutan kedalaman analisis. Media dan masyarakat sering kali mengutamakan narasi singkat yang mudah dipahami, meski berisiko mengorbankan akurasi. Alhasil, publik lebih mengenal suara-suara lantang ketimbang pakar yang bekerja dalam senyap melalui riset panjang.
Kritik terhadap fenomena ini penting diajukan, sebab ia berimplikasi pada kualitas demokrasi dan kebijakan publik. Jika suara dominan di ruang publik justru datang dari “pakar seribu wajah” yang lebih mengejar eksistensi ketimbang integritas intelektual, maka arah diskursus publik akan rawan disesatkan oleh opini tanpa basis pengetahuan yang memadai.
Tidak menutup kemungkinan, pada musim tertentu kita kembali disuguhi klaim baru: “Saya ahli curah hujan dan banjir bandang, siap memberikan analisis mendalam meski tanpa data.” Sebuah ironi yang mencerminkan betapa mudahnya label “ahli” diproduksi, sekaligus betapa lemahnya standar otoritas pengetahuan dalam ruang publik kita.
Pewarta: LS