Oleh: Ipung Izza
(Pemerhati Polemik Migas)
Sumenep, Portaljatim.net – Perdebatan mengenai eksplorasi dan eksploitasi migas di Pulau Kangean terus bergulir. Salah satu narasi yang belakangan mengemuka ialah klaim bahwa “seluruh organisasi keagamaan di Kangean menolak kegiatan migas.”
Narasi ini terdengar lantang, namun rapuh dalam substansi. Ia lebih menyerupai gema opini yang sengaja digerakkan untuk menciptakan kesan bahwa umat Islam Kangean telah bersatu menolak kebijakan pemerintah. Ahad(11/10/2025)
Jika ditelusuri secara jujur, tidak ada satu pun organisasi keagamaan besar—baik Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, maupun pesantren-pesantren di Kangean—yang secara resmi mengeluarkan keputusan menolak migas. Yang terjadi, beberapa individu mengatasnamakan lembaga tanpa mandat sah. Dalam etika organisasi, sikap semacam ini jelas tidak dapat dianggap sebagai representasi resmi.
Kebenaran Tidak Boleh Diperalat
Menggiring opini dengan mengatasnamakan agama sejatinya adalah tindakan menyandera kebenaran. Islam tidak pernah melegitimasi kebohongan sebagai instrumen perjuangan, terlebih ketika lembaga keagamaan dijadikan tameng untuk menyerang sesama warga dengan pandangan berbeda. Itu bukan perjuangan, melainkan pengkhianatan terhadap akal sehat dan nurani.
Kebenaran bukan milik kelompok yang paling lantang bersuara, melainkan milik mereka yang jujur, berilmu, dan beradab.
Suara Akal Sehat
Masyarakat Kangean dikenal dengan tradisi beradab, sopan santun, serta keterikatan yang kuat pada agama dan ilmu pengetahuan. Para kiai dan tokoh pesantren memahami bahwa setiap kebijakan pemerintah, termasuk eksplorasi migas, seharusnya dikaji dengan dasar ilmu, bukan didorong oleh amarah.
Para cendekiawan kerap berpesan: “Kalau mau melawan, lawanlah dengan ilmu.” Sebab tanpa dasar pengetahuan, penolakan bisa terjebak dalam fitnah—dan fitnah jauh lebih berbahaya daripada kerusakan yang dikhawatirkan.
Sesungguhnya, baik pihak yang mendukung maupun yang menolak memiliki tujuan yang sama: mewujudkan Kangean yang lebih sejahtera dan berkembang. Perbedaan cara pandang seharusnya tidak berujung pada saling tuding, apalagi stigma “munafik,” “penjilat,” atau “antek.”
Belajar dari Tafsir Hukum
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa kegiatan migas di pulau kecil dilarang jika terbukti merusak ekosistem. Artinya, larangan tersebut bersyarat: kegiatan bisa dilakukan sepanjang sesuai izin pemerintah pusat dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023 mempertegas bahwa larangan berlaku mutlak apabila terdapat potensi kerusakan ekosistem. Dengan kata lain, yang ditolak oleh hukum bukanlah migas itu sendiri, melainkan dampak kerusakannya.
Menjernihkan Arah Perdebatan
Yang dibutuhkan masyarakat Kangean bukanlah perang opini, melainkan pencerahan. Agama tidak sepatutnya dijadikan alat politik untuk memecah belah.
Sejatinya, mereka yang benar-benar membela rakyat bukanlah yang berteriak paling lantang, melainkan yang mau mengurai persoalan dengan akal dan hati. Sebab kebenaran tidak tumbuh di tanah yang dipenuhi kebencian, melainkan di dada orang-orang yang jujur berpikir dan tulus berniat.
Ls