SUMENEP, Portaljatim.net – Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan digadang-gadang menjadi solusi untuk menghadirkan buku yang murah, berkualitas, dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, pelaksanaannya di Kabupaten Sumenep dinilai masih jauh dari ideal.
Pengamat pendidikan Sumenep, Dr. Slamet Riyadi, M.Fil, menyatakan bahwa implementasi UU tersebut belum berjalan maksimal. Ia mengingatkan, bila pemerintah kabupaten tidak bertindak tegas, maka masyarakat akan semakin sulit mendapatkan buku bermutu dengan harga terjangkau.
“Kalau pemkab abai, masyarakat yang dirugikan. Ujung-ujungnya mutu pendidikan ikut tergerus,” ujar Slamet, Rabu (25/7/2025).
Toko Buku Terpinggirkan, Aturan Dilanggar Terang-Terangan
Salah satu praktik yang disorot adalah penjualan buku oleh penerbit langsung ke sekolah, tanpa melalui toko buku. Menurut Slamet, tindakan ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak ekosistem perbukuan lokal.
“Ini praktik curang yang merusak tatanan. Toko buku mati pelan-pelan, pilihan buku di sekolah terbatas, dan transaksinya tidak sehat,” tegasnya.
Padahal, Pasal 63 ayat (1) UU Sistem Perbukuan secara jelas melarang penerbit menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMA. Namun, di lapangan, aturan ini seolah diabaikan.
Sosialisasi Saja Tak Cukup, Perlu Pengawasan Tegas
Dinas Pendidikan Sumenep memang telah melakukan sosialisasi terkait UU ini, salah satunya dalam kegiatan di Kedai HK Sumenep yang menghadirkan penyuluh dari KPK. Meski demikian, Slamet menilai upaya tersebut belum menyentuh akar persoalan.
“Faktanya, penerbit masih main langsung ke sekolah. Artinya, sosialisasi saja tidak cukup. Harus ada pengawasan aktif dan penegakan aturan. Jangan sampai aturan yang bagus hanya jadi hiasan di atas kertas,” katanya.
Literasi Jadi Korban, Keadilan Pendidikan Terancam
Slamet juga menekankan bahwa sistem perbukuan tidak hanya soal jual-beli, tetapi juga menyangkut masa depan pendidikan dan budaya literasi. Pemerintah pusat maupun daerah, menurutnya, memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan akses bacaan yang adil dan berkualitas.
“Kalau semua dikuasai penerbit besar dan transaksinya tidak transparan, maka kita gagal menciptakan keadilan dalam pendidikan. Literasi jadi korban,” tutupnya.
Anwar